Oleh: Ahmad Ajib Ridlwan
- Wakil Dekan II Fakultas Ketahanan Pangan, Unesa
- Ketua Umum Pemuda ICMI Jawa Timur
Tahun baru Hijriah merupakan peristiwa penting yang diperingati umat muslim di dunia setiap tanggal 1 bulan Muharram. Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 Masehi seringkali menjadi peringatan historis dan dirayakan dengan nuansa renungan spiritual. Hijrah merupakan simbol transformasi sosial. Bukan sekedar migrasi geografis atau mobilitas fisik semata. Akan tetapi simbol perubahan nilai, sistem, dan peradaban tatanan kehidupan umat manusia.
Baca juga: SMSI Jatim-DKPP Sumenep Bersinergi Wujudkan Swasembada dan Ketahanan Pangan
Peristiwa penting dalam sejarah peradaban islam yaitu setibanya di Madinah, Rasulullah SAW melakukan perbaikan ketimpangan sistem ekonomi dan sosial. Diantaranya membangun pasar yang bebas dari praktik riba dan monopoli pasar, pertanian sebagai basis ekonomi madinah, pemanfaatan lahan dan sistem wakaf produktif, pengelolaan hasil pertanian secara gotong royong, pembagian hasil panen secara adil, mengatur cadangan pangan, dan mendorong masyarakat untuk menanam dan menabung hasil panen.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah mengajarkan pentingnya produksi pangan lokal, pemerataan distribusi pangan, kepedulian terhadap kelompok rentan, serta menjadikan ketahanan pangan sebagai fondasi peradaban umat manusia. Hal ini sekaligus menjadi bukti autentik bahwa Islam sangat menekankan ketahanan pangan sebagai instrumen untuk kesejahteraan umat. Spirit hijrah harus dijadikan titik balik ketahanan pangan menuju swasembada pangan.
Dari Madinah ke Nusantara: Hijrah sebagai Jalan Mewujudkan Swasembada Pangan
Sebagai negara agraris serta memiliki sumber daya alam yang melimpah, seharusnya Indonesia tidak bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Akan tetapi, realita yang terjadi saat ini Indonesia menghadapi tantangan perubahan iklim, kerusakan ekosistem akibat alih fungsi lahan, dan ketergantungan pada pangan impor.
Baca juga: Gubernur Khofifah Optimistis Jatim Pertahankan Produksi Beras Nasional
Lebih lanjut, Indonesia sebagai negara agraris mayoritas mata pencaharian penduduknya sebagai petani. Namun, mayoritas petani tersebut berada dalam garis kemiskinan, kekurangan akses lahan, dan minim dukungan teknologi. Ini menunjukkan bahwa masalah pangan bukan semata soal produksi, melainkan soal ketimpangan struktural dalam sistem pangan nasional. Inilah alasan mengapa hijrah diperlukan tidak hanya dalam bentuk simbolik, melainkan sebagai lompatan transformasi sektor pangan.
Tahun Baru Hijriah merupakan tekad spiritual untuk bergerak dan bersinergi. Jika hijrah pada masa Rasulullah SAW membangun Kota Madinah sebagai kota Madani yang beradab, maka hijrah hari ini adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat dalam pangan.
Dalam konteks saat ini, hijrah dapat dijadikan sebagai momentum perubahan sistem ketahanan pangan yang kokoh, adil, merata, dan berkelanjutan. Hikmah yang dapat diambil dari peristiwa hijrah dalam konteks kekinian adalah berhijrah dari konsumsi yang boros menuju pola konsumsi sehat dan kearifan lokal. Hijrah dari ketergantungan pangan impor menuju revitalisasi pertanian berbasis teknologi dan pelibatan generasi muda. Hijrah dari ketimpangan distribusi pangan menuju keadilan sosial melalui pemberdayaan petani dan penguatan lumbung pangan.
Baca juga: Pangdam Brawijaya Dukung Program Pemprov JatimĀ
Momentum ini juga memperkuat pentingnya sinergi dan kolaborasi lintas sektor. Kehadiran negara dapat diwujudkan melalui kebijakan yang berpihak pada petani kecil. Akademisi dan inovator harus mengembangkan teknologi pangan yang murah dan terjangkau. Lembaga sosial termasuk lembaga zakat dan wakaf, dapat berperan dalam pembiayaan pangan. Semua ini harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi, dan terukur.
Tahun Baru Hijriah bukan sekadar ritual tahunan, akan tetapi momentum untuk transformasi menuju perubahan yang lebih baik. Seperti Nabi membangun kota Madinah dengan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan. Kini sudah saatnya kita kembali pada tatanan sistem pangan demi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan bersama. Pada akhirnya swasembada pangan menjadi nyata, bukan sekedar kata-kata.
Editor : Yasmin Fitrida Diat