Suriname, MCI News – Pertama kalinya dalam sejarah, Suriname memilih seorang perempuan sebagai presiden. Jennifer Geerlings-Simons resmi ditetapkan sebagai kepala negara. Perempuan berusia 71 tahun ini unggul dalam pemilihan legislatif Mei 2025. Ia mengantongi dukungan mayoritas di Parlemen. Demikian dikutip dari laporan Reuters.
Jennifer Geerlings-Simons menjadi satu-satunya kandidat setelah kubu oposisi memutuskan tidak mengajukan calon pada detik-detik terakhir. Partainya, National Democratic Party (NDP), memenangkan 18 dari 51 kursi di Majelis Nasional. Mereka membentuk koalisi dengan lima partai lain, mengamankan 34 kursi atau dua pertiga mayoritas yang dibutuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan.
Presiden sebelumnya, Chan Santokhi dari Partai VHP, gagal membentuk koalisi untuk mempertahankan kekuasaan dan memilih untuk tidak mencalonkan presiden alternatif. Hal ini langsung membuka jalan bagi Jennifer Geerlings-Simons.
Dalam pidato singkatnya di hadapan parlemen, Jennifer Geerlings-Simons menyatakan kesiapan menerima amanah dari negara kecil berpenduduk 600.000 jiwa di pesisir utara Amerika Selatan itu.
"Saya sadar sepenuhnya bahwa tanggung jawab yang saya emban ini semakin besar karena saya adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai presiden," ujar presiden kelahiran 5 September 1953 itu.
Sebuah tantangan besar bagi Jennifer Geerlings-Simons memimpin negara yang tengah dilanda krisis ekonomi. Kondisinya semakin diperparah ketergantungan terhadap impor dan utang luar negeri. Sekitar 20 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Namun, harapan muncul dari sektor energi. Cadangan minyak lepas pantai yang ditemukan baru-baru ini diperkirakan akan mulai dieksploitasi pada 2028, dan berpotensi memberikan pendapatan besar bagi negara.
"Kita harus membuat undang-undang yang mengharuskan perusahaan bekerja sama dengan masyarakat Suriname dan membeli produk lokal," tegasnya saat berkampanye.
Jennifer Geerlings-Simons akan dilantik pada 16 Juli mendatang. Tahun ini, Suriname juga akan merayakan 50 tahun kemerdekaannya dari Belanda.
Editor : Yasmin Fitrida Diat