Surabaya, MCI News – Dahulu, kopi sering dianggap sebagai minuman khas para orang tua. Khususnya ayah-ayah yang rileks di kedai kopi sambil mengobrol tentang urusan kerja, kabar terkini, atau sekadar menghabiskan waktu petang. Wangi kopi hitam yang kuat, disajikan dalam cangkir kecil di atas meja kayu polos, melambangkan kehangatan dan kedekatan antarmanusia.
Namun, kini gambaran kopi telah berubah sepenuhnya. Kopi tidak lagi hanya diminum oleh generasi senior, melainkan telah menjadi bagian dari pola hidup kaum muda, terutama generasi (Gen) Z. Dari yang awalnya hanya diseduh dengan gula dan air mendidih di warung kopi, sekarang kopi muncul dalam berbagai varian modern dengan tambahan susu, gula pasir, krim, atau sirup manis, dikemas cantik dalam gelas plastik bermerek yang menarik, dan sering dipamerkan di media sosial sebagai lambang produktivitas dan kesibukan harian.
Baca juga: Minum Kopi Kurangi Terkena Kanker Otak
Para wirausahawan sekarang beramai-ramai membuat sajian kopi yang mudah dijangkau. Ini menjadi salah satu penyebab kopi kini mudah dikonsumsi, khususnya oleh generasi Z. Berdasarkan laporan Katadata Insight Center (2024), konsumsi kopi di Indonesia naik sekitar 36 persen dalam lima tahun belakangan, dengan peningkatan terbesar dari kelompok usia 18–30 tahun.
Tren ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) yang menunjukkan bahwa konsumsi kopi per kapita masyarakat Indonesia terus meningkat seiring dengan munculnya kafe lokal yang menyasar mahasiswa dan pekerja muda. Kopi kini bukan sekadar minuman untuk mengatasi kantuk, tetapi telah bertransformasi menjadi gaya hidup dan komoditas ekonomi bernilai jual tinggi.
Banyak pelaku bisnis berlomba menciptakan racikan kopi yang murah namun tetap menarik untuk difoto, mempertegas pandangan bahwa minum kopi adalah elemen dari kehidupan produktif dan masa kini. Istilah baru yang viral di aplikasi TikTok adalah "coffee holic", di mana banyak pemuda dengan bangga menyebut diri mereka sebagai pecinta kopi berat. Unggahan gambar kopi di kafe yang estetik kini menjadi bagian dari rutinitas online sehari-hari.
Kopi tidak lagi hanya tentang rasa, melainkan tentang citra diri sebagai individu yang sibuk, inovatif, dan efisien. Sayangnya, di balik tren ini, banyak yang mengabaikan bahwa tubuh memiliki batasan, dan kafein bukanlah jawaban permanen untuk kelelahan.
Meski demikian, di balik citra produktif dan modern tersebut, kebiasaan minum kopi secara berlebihan ternyata menyembunyikan risiko kesehatan yang tidak boleh dianggap remeh. Kafein memang bisa meningkatkan fokus dan mengurangi rasa kantuk, tetapi jika diminum tanpa pengendalian, efeknya malah berbalik menjadi masalah tidur, peningkatan denyut jantung, kecemasan yang mudah timbul, hingga kelelahan kronis.
Penelitian oleh Made Sukerti dan Ni Nyoman Sri Wahyuni dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (2022) menunjukkan adanya kaitan kuat antara kebiasaan minum kopi dengan kualitas tidur mahasiswa. Mahasiswa yang sering minum kopi berisiko lebih dari dua kali lipat mengalami gangguan tidur dibandingkan mereka yang jarang mengonsumsinya.
Temuan ini sejalan dengan studi Permata dan Prasetyo (2023) yang menemukan bahwa lebih dari setengah mahasiswa termasuk kategori "konsumen kopi berat" dan sebagian besar dari mereka memiliki kualitas tidur yang rendah.
Ironisnya, banyak pemuda merasa sehat karena masih bisa beraktivitas dengan penuh energi, padahal tubuh dan pikiran mereka mulai terbebani oleh tekanan fisik dan mental yang tidak proporsional. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa berdampak pada kesehatan jantung, sistem pencernaan, hingga keseimbangan emosi.
Menurut American Heart Association (2023), batas aman konsumsi kafein untuk orang dewasa adalah maksimal 400 miligram per hari, atau sekitar dua hingga tiga cangkir kopi. Jika melebihi itu, risiko munculnya gangguan tidur, jantung berdebar, dan kecemasan meningkat secara drastis. Minum kopi sebenarnya tidak salah, asalkan dilakukan dengan bijaksana dan diimbangi dengan pola hidup sehat. Hindari kopi manis berlebihan, batasi konsumsi di malam hari, dan jangan lupa memberikan tubuh waktu istirahat yang memadai.
Karena pada dasarnya, produktivitas tidak diukur dari seberapa banyak kafein yang diminum, melainkan dari seberapa baik seseorang menjaga keseimbangan antara energi, relaksasi, dan kesehatan mental di tengah kehidupan yang penuh tekanan.
Artikel oleh Salsabila Syafa Maulidya
Mahasiswi FKM UNAIR (191241128)
Editor : Yasmin Fitrida Diat