Badung, MCI News - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Badung, Provinsi Bali, menggelar diskusi tentang kepariwisataan di ruang Kertha Gosana, Kantor Bupati Badung, Selasa (20/5/2025).
Diskusi tersebut dihadiri Pengamat Pariwisata Tantowi Yahya, dan Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Even Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Vinsensius Jemadu sebagai narasumber.
Vinsensius Jemadu mengungkap rasa prihatin atas memburuknya kondisi sektor pariwisata di Bali. Ia mengatakan ada dua hal serius yang perlu diperhatikan, yakni anggaran seperti APBN/APBD dan policy (kebijakan).
"Di pusat itu namanya APBN, di daerah namanya APBD. Kekuatan yang kedua adalah policy," ungkap Vinsensius.
"Di saat alokasi APBN/APBD tidak berkualitas, oke kita mainkan satunya itu, kebijakan atau policy. Tetapi di saat kebijakan atau policy juga, mungkin kualitasnya bagus, tetapi low-end cost-nya tidak berkualitas. Budget juga tidak berkualitas, hasilnya adalah wassalam, " tambahnya.
Vinsensius mengaku kecewa, karena banyak bupati/wali kota yang tidak melaksanakan perintah dari Kemenparekraf.
"Mengapa? Karena bupati atau wali kota lebih taat kepada Mendagri (Menteri Dalam Negri). Jadi kalau kami dari pusat mengatakan 'A', belum tentu di daerah bilang 'A'. Kalau kami katakan bahwa pariwisata adalah sektor unggul, sektor prioritas, dan punya manipulative effect luar biasa, belum tentu bupati/wali kota percaya," ungkapnya.
Menparekraf mempresentasikan program unggulan saat diskusi bersama
Di sisi lain, Tantowi Yahya yang pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Selandia Baru menyebut, wisatawan asing memiliki tujuan sama untuk liburan, yakni hanya untuk jalan kaki.
Tantowi menjelaskan, wisatawan pasti mencari tempat yang bisa memberi pengalaman bermakna (meaningfull) dan menumbuhkan kesadaran (mindfull).
Karena itu, Ia membagi tiga parameter jika destinasi tersebut memiliki kualitas bagus.
"Disebut berkualitas, kita bagi tiga. Sebelum perjalanan, saat perjalanan, dan setelah perjalanan," kata Tantowi.
Sebelum perjalanan, wisatawan/turis mudah mencari informasi terkait destinasi yang diinginkan. Dalam hal ini digitalisasi sangat membantu memberi informasi kepada mereka, termasuk ketika melakukan pemesanan transportasi, penginapan dengan cepat.
"Booking itu gampang sekali, cepat. Tidak ada lagi nunggu lama. Orang-orang nunggu juga lama. Nunggu berapa menit mereka hilang, gone (tidak lagi tertarik lagi dengan destinasi yang dituju)," katanya.
Yang kedua, ketika atau selama perjalanan. Tantowi memaparkan data dari United Nations Tourism yang menginformasikan 73% wisatawan asing mengandalkan platform digital. Berdasarkan data dari booking.com tahun 2023, 68% wisatawan membutuhkan rasa aman. "Hospitality, dan rasa aman sebagai faktor utama."
"Yang terakhir, setelah perjalanan. Tempat destinasi bisa memberi rasa nyaman untuk ditinggali, sehingga memberi kesan membekas yang berkelanjutan. Kesan membekas tersebut bisa membuat wisatawan ingin kembali lagi ke tempat destinasi yang sebelumnya dikunjungi.
Tantowi Yahya menjadi narasumber saat diskusi bersama
Tantowi juga memutarkan video pendek dari Selandia Baru yang harus ditonton wisatawan. Dalam video pendek tersebut meminta wisatawan untuk menghormati penduduk asli, menaati aturan setempat, hingga menjaga lingkungan sekitar.
"Berperilaku sopan, enggak cari masalah. Apalagi sampai berantem sama penduduk lokal. Terus tidak mencederai tempat yang dianggap sakral," jelas Tantowi.
"Care for people and place. Commitmen to care for New Zealand. For now and for future generations. To care for land, sea, and nature. Care for nature, respect our culture. Simple. Videonya 30 detik di airline (di dalam pesawat), sebelum kita landing," imbuhnya.
Video tersebut juga menginformasikan apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan wisatawan.
Di akhir pemaparannya, Tantowi mengungkap Selandia Baru sudah masuk ke tahap menyaring wisatawan yang masuk.
"Selandia Baru sudah pada tahap menyaring wisatawan, kita masih pada tahap mengundang wisatawan. Di Bali, mereka (wisatawan/turis) bukan menonton/menyaksikan. Tahu ada seni budaya baru, tapi mereka malah jualan bisnis," jelas Tantowi.
Editor : Budi Setiawan