Surabaya, MCI News - Komisi B DPRD Surabaya kembali memfasilitasi pertemuan antara Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) di ruang kerja Komisi B Gedung DPRD Kota Surabaya, Jl. Yos Sudarso No. 18 - 22, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur, Senin (4/8/2025).
Pertemuan ini menjadi pertemuan kedua membahas kisruh penagihan pajak reklame terhadap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), khususnya soal penafsiran reklame yang dipasang pada bagian kanopi atau list plang SPBU yang menjadi obyek pajak.
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya, Siti Mitachul Jannah menjelaskan, dasar penagihan merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2023 dan masukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia menyebutkan, secara teknis, pelaksanaan penarikan pajak tersebut masih akan dikonsultasikan lebih lanjut mengingat masih adanya celah interpretasi terhadap objek reklame dan ruang sosialisasi yang belum optimal.
“Sebenarnya sosialisasi itu sudah ada sejak 2019. Hanya memang pelaksanaannya belum menyeluruh,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, kebijakan ini merupakan domain otonomi daerah yang berbeda antara satu wilayah dan lainnya. Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh pihak Hiswana Migas.
Ben D. Hadjon, selaku penasihat hukum Hiswana Migas Surabaya, menilai pendekatan yang diambil Bapenda justru tidak proporsional dan melanggar prinsip hukum, khususnya asas larangan retroaktif.
“Ketetapan pajak yang merujuk pada perda tahun 2023, tetapi ditarik mundur hingga 5 tahun, jelas bertentangan dengan asas hukum universal,” tegas Ben.
Ia juga menggarisbawahi bahwa warna merah pada kanopi SPBU bukan termasuk unsur promosi, melainkan corporate color milik Pertamina, sehingga tidak dapat serta-merta dikategorikan sebagai reklame.
Hiswana juga mempertanyakan dasar penafsiran reklame yang mengacu pada Perda Surabaya, mengingat di kota lain, seperti Sidoarjo dan Gresik, tidak dikenakan kebijakan serupa. Bahkan, mereka menyebut bahwa Perda DKI Jakarta memiliki definisi reklame yang identik, namun implementasinya jauh berbeda.
“Ini yang kami nilai tidak rasional. Kenapa hanya di Surabaya yang berbeda dalam implementasinya?” tambah Ben.
Pernyataan tegas juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochammad Machmud. Ia menyoroti penarikan pajak reklame terhadap empat sisi list plang SPBU, termasuk sisi belakang yang berhadapan dengan tembok, sebagai tindakan yang tidak masuk akal.
“Kita pertanyakan ini ke Bapenda, dan infonya, ini perintah BPK. Tapi surat dari BPK tidak pernah ditunjukkan,” ujarnya.
Machmud juga menyayangkan sikap Bapenda yang tidak lebih dulu melakukan sosialisasi, melainkan langsung menerbitkan surat tagihan kepada para pengusaha SPBU. Komisi B pun menyarankan agar sementara ini para pengusaha tidak membayar tagihan tersebut sampai ada kejelasan hukum dan surat resmi dari BPK yang menyatakan kewajiban tersebut berdasarkan hasil audit.
Pertemuan kedua antara Bapenda dan Hiswana Migas yang dimediasi Komisi B DPRD Surabaya memperlihatkan bahwa persoalan ini tidak sekadar perbedaan tafsir regulasi, melainkan juga menyangkut transparansi, asas keadilan, serta ketepatan dalam implementasi kebijakan perpajakan. Ketidakhadiran surat resmi dari BPK memperkuat dugaan bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang secara objektif.
Jika tidak segera dituntaskan secara tuntas dan akuntabel, sengkarut pajak reklame SPBU ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam tata kelola perpajakan daerah.
Editor : Yasmin Fitrida Diat