Surabaya, MCI News - Aliansi Surabaya Peduli AIDS (ASPA) mendatangi Kantor DPRD Surabaya, Senin, 28 April 2025. Kedatangan mereka dalam rangka audiensi soal penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surabaya.
Audiensi diterima oleh Ketua DPRD Surabaya dan seluruh anggota. Hadir dalam audiensi sejumah OPD Kota Surabaya, diantaranya perwakilan Dinkes, Dinsos, Disnaker, Dinas Pendidikan, Disbudporapar, Bapedalitbang, Satpol PP, kemenag, dan DP3A.
Sekretaris ASPA, Hanif Kurniawati mengungkapkan, audiensi ini dalam rangka menyinkronkan kerja masyarakat sipil dengan rencana kerja pemerintah daerah, khususnya terkait pengentasan kemiskinan, peningkatan layanan kesehatan inklusif, serta eliminasi TBC dan HIV," terang Hanif.
"Penanggulangan HIV/AIDS di Surabaya selama ini berjalan dengan baik dan dinamis. Kolanorasi masyarakat sipil dengan pemerintah telah berhasil menjangkau dan mendampingi lebih dari 25 ribu orang yang rentan tertular HIV (risiko tinggi). Karena ini semua masih ada pendanaan dari luar. Tapi ancaman di tahun depan lembaga donor asing sudah tidak lagi mengucurkan uangnya ke Indonesia, karena dianggap negara kita masuk negara dengan penghasilan menengah," katanya usai audiensi, Senin, 28 April 2025.
Menurut Hanif yang juga Direktur Yayasan Orbit, sebagai masyarakat yang peduli mewujudkan kota sehat tidak selamanya mengandalkan dana asing. "Tahun ini saja ada donor asing yang sudah cabut pendanaan untuk penanggulangan TB-HIV yaitu USAID, dengan alasan kebijakan pemerintah Amerika. Karena ini harus disikapi agar penanggulangan HIV, TB, Napza berjalan terus," katanya.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Imam Syafii mengatakan pemerintah kota Surabaya harus menyikapi aspirasi masyarakat sipil yang peduli dengan HIV, TB, san Napza. "Pemerintah harus memberikan anggaran untuk kebutuhan masyarakat ini. Karena mereka yang dekat dengan komunitas. Selama ini program pemerinta hanya seremonial saja. Ini harus diubah," katanya.
Ajeng Wira Wati, salah satu anggota Komisi D, juga menambahkan pentingnya pengelolaan lebih serius terhadap penanganan HIV/AIDS dan pasien AISP (AIDS Infection and Sexual Partners). Ajeng menyatakan bahwa Surabaya harus berhati-hati namun progresif dalam mengelola persoalan ini.
"Kita mengupayakan menindaklanjuti berbagai permasalahan pasien HIV/AIDS, namun tetap berhati-hati. Dengan Perpres 16 tahun 2018, kita ingin mendukung medical reminder system (MRS) dan warga Surabaya dalam penyelenggaraan layanan kesehatan yang lebih baik," ujar Ajeng.
Menurutnya, pemanfaatan anggaran daerah (APBD) secara maksimal untuk program-program sosial ini, termasuk skema swakelola yang melibatkan banyak dinas dan ASN ini menjadi sebuah kebutuhan dalam menyikapi fenomena saat ini.
"Kita ingin memastikan ada alokasi anggaran yang konsisten setiap tahun untuk mendukung eliminasi HIV/AIDS, bukan sekadar rencana di atas kertas," tegasnya.
Sementara itu, William Wirakusuma, anggota Komisi D lainnya, menyoroti perlunya pembaruan regulasi daerah. Menurutnya, peraturan daerah (perda) yang lama sudah tidak relevan dengan kondisi Surabaya saat ini yang dinamis.
"Surabaya ini kota besar, sangat dinamis. Perda tentang penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat 2013 sudah terlalu lama. Kita akan usulkan pembaruan agar lebih sesuai dengan perkembangan," kata William.
Dari pihak organisasi penyintas tuberkolosis, Ani, juru bicara Rekat Peduli Indonesia, memaparkan berbagai tantangan di lapangan. Ia menyebutkan bahwa banyak pasien TBC, terutama dengan resistensi obat, enggan melanjutkan pengobatan karena efek samping obat yang berat dan masalah ekonomi.
“Banyak dari mereka bekerja harian, sehingga jika harus berobat rutin, mereka kehilangan penghasilan bahkan terlilit utang. Kami bahkan pernah membantu membayar utang pasien agar mereka bisa melanjutkan pengobatan," tutur Ani.
Ia mengingatkan bahwa walau sebelumnya Indonesia kini menghadapi penurunan bantuan donor internasional seperti dari Global Fund dan USAID. Keberlanjutan program sangat bergantung pada dukungan pemerintah daerah.
"Jika tidak segera disiapkan, program penanggulangan HIV/AIDS dan TBC bisa terancam, terutama di tingkat daerah seperti Surabaya," tambahnya.
Rapat koordinasi ini menjadi langkah awal yang penting bagi Komisi D dan seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat sinergi dalam menghadapi tantangan penanggulangan HIV/AIDS dan TBC di Surabaya. Diharapkan dalam waktu dekat akan ada langkah nyata berupa pembangunan shelter, pembaruan perda, serta penguatan program swakelola berbasis komunitas untuk menciptakan layanan kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam rapat ini, Komisi D DPRD Surabaya menyatakan komitmennya untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dan mempercepat penyusunan regulasi baru. Komisi D juga berjanji mendorong penganggaran yang lebih proaktif serta penguatan sistem swakelola program kesehatan.
"Semua ini bertujuan agar upaya eliminasi AIDS dan TBC di Surabaya benar-benar terwujud, bukan sekadar slogan," tutup Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir.
Editor : WItanto